Penulis: AstridsLovely
Sebagai seseorang dengan low vision, saya terbiasa dengan keterbatasan fisik yang semakin hari semakin terasa. Saya divonis mengalami Retinitis Pigmentosa sejak SMP, penyakit degeneratif yang perlahan-lahan merusak retina dan menyebabkan penglihatan semakin menyempit. Awalnya saya masih bisa mengenali lingkungan sekitar, melihat wajah orang dan membaca teks dalam ukuran tertentu, tapi seiring waktu … dunia yang saya lihat semakin kabur dan terbatas. Saya berusaha menerima keadaan ini. Namun jauh di dalam hati, ada banyak kekhawatiran yang saya pendam sendiri sejak kecil.
Keterbatasan fisik ini ternyata bukan satu-satunya hal yang harus saya hadapi. Seiring bertambahnya usia, saya mulai merasakan tekanan mental yang semakin berat. Kecemasan tentang masa depan, ketakutan akan kehilangan penglihatan sepenuhnya, serta beban emosional yang terus saya simpan sendiri akhirnya mencapai titik puncaknya.
Sungguh aneh. Sejak kecil saya sudah tahu suatu saat nanti saya akan buta. Saya bahkan sudah mempersiapkan banyak hal untuk menunjang aktivitas saya saat benar-benar jadi tunanetra kelak. Misalnya bagaimana cara menggunakan tongkat, belajar huruf braille dan komputer bicara. Namun ketika penglihatan ini sedikit demi sedikit diambil oleh Sang Maha Kuasa, ternyata rasanya tetap sesakit ini.
Di usia 30 tahun, saya merasa tidak bisa lagi mengontrol emosi saya. Saya menjadi sangat sensitif, mudah marah, dan sering mengalami mood swing yang ekstrem. Ada hari-hari di mana saya merasa sangat bahagia, tapi dalam sekejap perasaan itu bisa berubah menjadi sedih yang mendalam tanpa alasan yang jelas. Saya juga sering mengalami overthinking baik tentang masa lalu maupun masa depan. Pikiran saya selalu ramai seperti kegaduhan di pasar, terus-menerus dipenuhi dengan ketakutan dan penyesalan.
Di saat yang bersamaan, saya mulai mengalami gangguan fisik yang berkaitan dengan kondisi mental saya. Sakit lambung yang sering kambuh-kambuhan menjadi salah satu masalah utama yang saya hadapi sejak dulu. Sudah tiga tahun ini, saya bahkan tidak bisa menjalankan puasa Ramadhan karena gangguan lambung yang semakin parah.
Padahal kalau dipikir-pikir lagi … seharusya tidak ada hal apa pun lagi yang perlu dicemaskan. Meskipun kondisi penglihatan saya kian memburuk, nyatanya saya masih bisa beraktivitas dengan normal. Saya juga punya keluarga yang selalu mendukung saya. Saya pun punya pekerjaan dan bisa menghasilkan uang sendiri. Saya bahkan mampu membeli apa saja yang saya mau. Namun kenyataannya saya tetap tidak mampu mengontrol isi pikiran saya yang begitu ruwet layaknya benag kusut.
Titik terendah dalam hidup saya terjadi pada akhir tahun 2020. Penglihatan saya semakin memburuk dan saya kehilangan pekerjaan pertama saya. Saya mengalami fase depresi berat. Saat itu, saya jatuh sakit sampai rasanya ingin mati. Saya merasa tubuh saya benar-benar lemah, hampir tidak memiliki tenaga untuk beraktivitas. Tubuh saya demam tinggi, napas sesak, kepala rasanya mau pecah dan muntah secara terus-menerus selama perjalanan menuju rumah sakit. Namun ketika saya dibawa ke IGD, hasil lab menunjukkan bahwa saya baik-baik saja secara fisik. Tidak ada yang aneh dengan kondisi medis saya. Saya terkejut bukan main, apa yang salah dengan diri saya? Apakah rasa sakit yang saya alami hanya ilusi belaka?
Saat itu dokter di IGD bicara pada orang tua saya dan menyarankan agar saya menemui psikolog, tapi saya menolak. Saya merasa bisa mengatasi ini sendiri. Saya berpikir, apa iya saya butuh psikolog? Saya takut dianggap berlebihan atau lemah. Saya juga merasa bahwa pergi ke psikolog atau psikiater adalah sesuatu yang tabu dan hanya untuk orang yang memiliki gangguan mental berat.
Namun penolakan saya untuk mencari bantuan profesional hanya memperburuk kondisi saya. Saya tetap terjebak dalam siklus kecemasan, mood swing, dan gangguan fisik yang tidak kunjung membaik.
Februari 2025 menjadi titik balik dalam hidup saya. Penyakit lambung saya kambuh lagi. Kali ini lebih lama, lebih dari tiga minggu tidak kunjung sembuh. Saya sudah mencoba berbagai obat dan terapi, tapi tidak ada yang berhasil. Rasa sakit di perut saya semakin menjadi-jadi dan saya merasa benar-benar kelelahan secara fisik dan mental.
Melihat kondisi saya yang semakin memburuk, ibu saya akhirnya memaksa untuk pergi ke psikiater. Dengan setengah hati saya menurutinya. Saya dirujuk ke klinik khusus psikiatri yang lumaya terkenal di kota saya, dengan perasaan campur aduk antara pasrah, takut, dan sedikit berharap.
Saat bertemu dengan psikiater, saya mulai menceritakan semua yang saya rasakan. Saya mengungkapkan tentang kecemasan dan ketakutan saya, juga tentang pikiran saya yang selalu ramai, kondisi saya yang sering sakit-sakitan, sakit lambung yang berkepanjangan, jantung yang terus berdebar seperti mau lepas dari tempatnya, tremor, napas sesak, mood swing yang tak terkendali, dan bagaimana semua itu mempengaruhi kondisi fisik saya.
Setelah sesi konsultasi yang panjang, psikiater saya memberikan diagnosis: Anxiety Disorder (Gangguan Kecemasan).
Diagnosis ini seperti membuka mata saya lebar-lebar. Saya menyadari bahwa selama ini bukan hanya tubuh saya yang sakit, tapi juga pikiran dan perasaan saya. Kecemasan yang tidak terkendali menyebabkan gangguan fisik yang terus berulang, dan satu-satunya cara untuk sembuh adalah dengan mengatasi akar masalahnya—yakni kondisi mental saya sendiri.
Mengapa Disabilitas Juga Butuh Psikiater?
Sebagai seorang low vision, saya terbiasa menghadapi berbagai keterbatasan fisik. Tapi saya tidak menyadari bahwa keterbatasan ini juga mempengaruhi kondisi mental saya. Ada begitu banyak ketakutan yang saya simpan sendiri—tentang masa depan, tentang kehilangan penglihatan sepenuhnya, tentang bagaimana saya akan bertahan hidup. Semua itu lama-kelamaan menumpuk menjadi kecemasan yang tidak terkendali.
Saya menulis ini karena saya ingin menyampaikan satu hal penting, disabilitas juga butuh psikiater.
Orang-orang dengan disabilitas sering dianggap hanya membutuhkan dukungan fisik—alat bantu, aksesibilitas, atau pendampingan. Tapi jarang yang menyadari bahwa mereka juga menghadapi tekanan mental yang luar biasa.
Tidak mudah menerima perubahan besar dalam hidup. Tidak mudah menghadapi keterbatasan yang semakin hari semakin nyata. Tidak mudah menjalani hidup ketika pikiran dipenuhi ketakutan dan kecemasan.
Apa yang Saya Pelajari dari Pengalaman Ini?
Tidak perlu malu untuk mencari bantuan. Pergi ke psikiater bukan berarti kita lemah. Justru itu adalah langkah berani untuk memahami diri sendiri dan mencari jalan keluar dari masalah yang selama ini mengikat kita.
Saya masih dalam proses pemulihan. Pergi ke psikiater bukan berarti semua masalah langsung selesai. Tapi setidaknya, saya sekarang tahu bahwa saya tidak sendirian dalam perjuangan ini.
Untuk teman-teman disabilitas di luar sana, jika kalian merasa terbebani dengan kecemasan, ketakutan, atau perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Jangan ragu untuk mencari bantuan. Kita juga berhak mendapatkan kesehatan mental yang baik.